MENGIRINGI datangnya musim penghujan, fenomena genangan air dan banjirpun hadir. Kini kejadian tersebut seakan sudah menjadi agenda rutin yang harus dialami dan dihadapi oleh kita semua. Tidak hanya terjadi secara sporadis di beberapa wilayah namun sudah hampir merata di seluruh wilayah Nusantara. Tak terkecuali juga di wilayah Sumatera Selatan dan Kota Palembang. Ketika hujan turun, maka kita dapat melihat banyak bagian dari wilayah sekitar yang dengan cepat dan mudah menjadi tergenang. Sejalan dengan peningkatan waktu (lama) dan volume (besaran) hujan maka banjirpun tak dapat terelakkan.
Menjadi persoalan yang kian serius ketika banjir makin membesar baik dalam skala maupun frekuensinya. Apalagi ketika sudah sampai pada tingkatan bencana, maka akan ada lebih banyak kerugian. Tidak hanya rusaknya sarana dan prasarana sosial ekonomi yang menjadi persoalan. Tapi, kenyamanan dan keamanan dalam beraktifitas secara sosial-ekonomi juga akan kian terasa mengganggu.
Masalah banjir ini sejatinya dapat didalami dari dua hal. Pertama, banjir dapat dilihat sebagai masalah pembangunan dan lingkungan. Kedua, banjir ditengarai sebagai masalah sosial dan budaya.
Pembangunan dan Lingkungan
Kehadiran banjir di tengah-tengah maraknya pembangunan di segala lini, telah memunculkan keyakinan adanya keterkaitan yang erat antara keduanya. Pembangunan fisik terutama menyangkut infrastruktur yang ditujukan untuk mendukung aktivitas social-ekonomi mendapat sorotan yang tajam karena dianggap sebagai pemicu utama terjadinya banjir. Faktor manusia ditempatkan sebagai subyek yang memperbesar potensi alami (faktor alam) yang sudah ada sebelumnya. Kontribusi aktivitas pembangunan tersebut dapat berupa peningkatan potensi dan peluang terjadinya banjir maupun peningkatan luasan dan besaran banjir yang telah terjadi sebelumnya.
Ketidaksesuaian pembangunan dapat dianalisis dari kesesuaian perencanaan pembangunan dengan praktek-praktek pembangunan yang dilakukan di tingkat lapangan. Banyaknya pelanggaran terhadap tata ruang yang telah ditentukan, membuat potensi, peluang, dan frekuensi banjir menjadi semakin meningkat. Sebagai ilustrasi, penggundulan dan perambahan hutan serta maraknya pembangunan di daerah hulu telah mengurangi fungsi sejatinya kawasan tersebut yaitu sebagai daya resap air.
Konversi kawasan rawa untuk berbagai pembangunan juga telah mengubah fungsi utama kawasan rawa sebagai penampung air alami. Akibatnya, aliran air menjadi tidak normal dan tak terkendali. Dan akhirnya banjirpun tak dapat dihindari.
Daerah yang paling menderita tentulah wilayah yang berada di daerah hilir sebagai penerima akhir aliran dari banjir.
Persoalan banjir dapat pula dilihat sebagai akibat dari ketidakselarasan pembangunan terhadap daya dukung lingkungan. Kemampuan lahan dalam menahan beban kegiatan pembangunan memiliki keterbatasan. Sampai pada satu titik tertentu, lahan tidak akan mampu lagi mendukung perubahan yang terjadi akibat aktivitas pembangunan.
Penggunaan, alokasi, atau konversi lahan untuk bangunan, pertanian, perkebunanan, kehutanan, dan tujuan penggunaan lainnya yang tidak sesuai dengan kemampuan lahannya menjadi salah satu sosial ekonomi, maka kelebihan beban tersebut mendorong semakin besarnya peluang terjadinya banjir.
Sosial dan Budaya
Banyak praktek-praktek keseharian masyarakat yang dapat memacu semakin besarnya peluang dan terjadinya banjir. Sebagai gambaran, masih minimnya kesadaran kita dalam memberikan perhatian terhadap daerah resapan air di sekitarnya. Ambil contoh, seberapa banyak dari kita yang telah memperhitungkan dan membandingkan luasan bangunan rumah terhadap luasan daerah resapan air di halaman depan dan belakang rumah? Apalagi bila lebih mendalam kita mendata seberapa banyak rumah tangga di lingkungan kita yang telah menerapkan teknik-teknik memperbesar fungsi resapan air seperti menggunakan teknik biopori.
Selain itu masih banyak kita jumpai adanya kebiasaan / budaya membuang sampah pada badan air (sungai, danau, rawa) dan saluran pembuangan air turut pula memperparah banjir yang terjadi. Sampah-sampah yang tidak dibuang pada tempatnya tersebut berperan sebagai penghambat dan penyumbat kelancaran aliran air.
Dalam menangani masalah pembangunan dan lingkungan yang menyebabkan banjir, konsistensi penerapan kebijakan menjadi sangat penting dan utama. Sesungguhnya sudah banyak perangkat hukum yang ditujukan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk mencegah dan menanggulangi banjir. Sebagai satu contoh, dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang telah jelas memberikan sanksi yang sangat berat bagi pelanggar ketentuan yang telah diatur dalam rencana tata ruang di pusat, provinsi, maupun kabupaten.
Sanksi pidana akan mengancam pemberi ijin dan pelaku / pelaksana pembangunan yang melanggar alokasi tata ruang yang telah ditetapkan. Namun efektifitas dalam pelaksanaannya sejauh ini masih memerlukan dorongan yang kuat agar dapat operasional dan dapat berfungsi sesuai tujuannya.
Satu hal yang juga menjadi penting adalah peran pendidikan dalam membentuk karakter (kita) manusia yang ramah dan peduli lingkungan. Adanya masalah sosial dan budaya yang menjadi salah satu faktor pemacu banjir, menyiratkan bahwa ada persoalan dalam sistem dan model pendidikan yang diterapkan selama ini. Sebagai contoh kecil, pendidikan formal (terutama melalui sekolah) dan non formal ternyata belum mampu menanamkan kepada kita semua bahwa tidak membuang sampah pada badan air dan saluran pembuangan air adalah perilaku dan tindakan yang “terhormat” baik secara moral maupun etika. Kesadaran diri yang muncul dari karakter pribadi untuk menjadi individu yang ramah dan peduli terhadap lingkungan menjadi penting dalam konsep pendidikan. Karena hakekat pendidikan semestinya dapat pula memanusiakan manusia menjadi peduli terhadap persoalan banjir.
Menjadi persoalan yang kian serius ketika banjir makin membesar baik dalam skala maupun frekuensinya. Apalagi ketika sudah sampai pada tingkatan bencana, maka akan ada lebih banyak kerugian. Tidak hanya rusaknya sarana dan prasarana sosial ekonomi yang menjadi persoalan. Tapi, kenyamanan dan keamanan dalam beraktifitas secara sosial-ekonomi juga akan kian terasa mengganggu.
Masalah banjir ini sejatinya dapat didalami dari dua hal. Pertama, banjir dapat dilihat sebagai masalah pembangunan dan lingkungan. Kedua, banjir ditengarai sebagai masalah sosial dan budaya.
Pembangunan dan Lingkungan
Kehadiran banjir di tengah-tengah maraknya pembangunan di segala lini, telah memunculkan keyakinan adanya keterkaitan yang erat antara keduanya. Pembangunan fisik terutama menyangkut infrastruktur yang ditujukan untuk mendukung aktivitas social-ekonomi mendapat sorotan yang tajam karena dianggap sebagai pemicu utama terjadinya banjir. Faktor manusia ditempatkan sebagai subyek yang memperbesar potensi alami (faktor alam) yang sudah ada sebelumnya. Kontribusi aktivitas pembangunan tersebut dapat berupa peningkatan potensi dan peluang terjadinya banjir maupun peningkatan luasan dan besaran banjir yang telah terjadi sebelumnya.
Ketidaksesuaian pembangunan dapat dianalisis dari kesesuaian perencanaan pembangunan dengan praktek-praktek pembangunan yang dilakukan di tingkat lapangan. Banyaknya pelanggaran terhadap tata ruang yang telah ditentukan, membuat potensi, peluang, dan frekuensi banjir menjadi semakin meningkat. Sebagai ilustrasi, penggundulan dan perambahan hutan serta maraknya pembangunan di daerah hulu telah mengurangi fungsi sejatinya kawasan tersebut yaitu sebagai daya resap air.
Konversi kawasan rawa untuk berbagai pembangunan juga telah mengubah fungsi utama kawasan rawa sebagai penampung air alami. Akibatnya, aliran air menjadi tidak normal dan tak terkendali. Dan akhirnya banjirpun tak dapat dihindari.
Daerah yang paling menderita tentulah wilayah yang berada di daerah hilir sebagai penerima akhir aliran dari banjir.
Persoalan banjir dapat pula dilihat sebagai akibat dari ketidakselarasan pembangunan terhadap daya dukung lingkungan. Kemampuan lahan dalam menahan beban kegiatan pembangunan memiliki keterbatasan. Sampai pada satu titik tertentu, lahan tidak akan mampu lagi mendukung perubahan yang terjadi akibat aktivitas pembangunan.
Penggunaan, alokasi, atau konversi lahan untuk bangunan, pertanian, perkebunanan, kehutanan, dan tujuan penggunaan lainnya yang tidak sesuai dengan kemampuan lahannya menjadi salah satu sosial ekonomi, maka kelebihan beban tersebut mendorong semakin besarnya peluang terjadinya banjir.
Sosial dan Budaya
Banyak praktek-praktek keseharian masyarakat yang dapat memacu semakin besarnya peluang dan terjadinya banjir. Sebagai gambaran, masih minimnya kesadaran kita dalam memberikan perhatian terhadap daerah resapan air di sekitarnya. Ambil contoh, seberapa banyak dari kita yang telah memperhitungkan dan membandingkan luasan bangunan rumah terhadap luasan daerah resapan air di halaman depan dan belakang rumah? Apalagi bila lebih mendalam kita mendata seberapa banyak rumah tangga di lingkungan kita yang telah menerapkan teknik-teknik memperbesar fungsi resapan air seperti menggunakan teknik biopori.
Selain itu masih banyak kita jumpai adanya kebiasaan / budaya membuang sampah pada badan air (sungai, danau, rawa) dan saluran pembuangan air turut pula memperparah banjir yang terjadi. Sampah-sampah yang tidak dibuang pada tempatnya tersebut berperan sebagai penghambat dan penyumbat kelancaran aliran air.
Dalam menangani masalah pembangunan dan lingkungan yang menyebabkan banjir, konsistensi penerapan kebijakan menjadi sangat penting dan utama. Sesungguhnya sudah banyak perangkat hukum yang ditujukan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk mencegah dan menanggulangi banjir. Sebagai satu contoh, dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang telah jelas memberikan sanksi yang sangat berat bagi pelanggar ketentuan yang telah diatur dalam rencana tata ruang di pusat, provinsi, maupun kabupaten.
Sanksi pidana akan mengancam pemberi ijin dan pelaku / pelaksana pembangunan yang melanggar alokasi tata ruang yang telah ditetapkan. Namun efektifitas dalam pelaksanaannya sejauh ini masih memerlukan dorongan yang kuat agar dapat operasional dan dapat berfungsi sesuai tujuannya.
Satu hal yang juga menjadi penting adalah peran pendidikan dalam membentuk karakter (kita) manusia yang ramah dan peduli lingkungan. Adanya masalah sosial dan budaya yang menjadi salah satu faktor pemacu banjir, menyiratkan bahwa ada persoalan dalam sistem dan model pendidikan yang diterapkan selama ini. Sebagai contoh kecil, pendidikan formal (terutama melalui sekolah) dan non formal ternyata belum mampu menanamkan kepada kita semua bahwa tidak membuang sampah pada badan air dan saluran pembuangan air adalah perilaku dan tindakan yang “terhormat” baik secara moral maupun etika. Kesadaran diri yang muncul dari karakter pribadi untuk menjadi individu yang ramah dan peduli terhadap lingkungan menjadi penting dalam konsep pendidikan. Karena hakekat pendidikan semestinya dapat pula memanusiakan manusia menjadi peduli terhadap persoalan banjir.
Sumber : Sosiologi X
Penerbit : PT Grasindo
Nama : Brigitta Selvi
Kelas : 1KA31
NPM : 11110450
Mat Kul : Ilmu Sosial Dasar
Jurusan : SI
Fakultas : Ilmu Komputer
Tidak ada komentar:
Posting Komentar