Dalam
pandangan sosiologi, perhatian utama terhadap agama adalah pada fungsinya
terhadap masyarakat. Istilah fungsi seperti kita ketahui, menunjuk kepada
sumbangan yang diberikan agama, atau lembaga sosial yang lain, untuk
mempertahankan (keutuhan) masyarakat sebagai usaha-usaha yang aktif dan
berjalan terus-menerus. Dengan demikian perhatian kita adalah peranan yang
telah ada dan yang masih dimainkan. Emile Durkheim sebagai sosiolog besar
telah memberikan gambaran tentang fungsi agama dalam masyarakat. Dia
berkesimpulan bahwa sarana-sarana keagamaan adalah lambang-lambang masyarakat,
kesakralan bersumber pada kekuatan yang dinyatakan berlaku oleh masyarakat
secara keseluruhan bagi setiap anggotanya, dan fungsinya adalah mempertahankan
dan memperkuat rasa solidaritas dan kewajiban sosial.
Agama
telah dicirikan sebagai pemersatu aspirasi manusia yang paling sublime;
sebagai sejumlah besar moralitas, sumber tatanan masyarakat dan perdamaian
batin individu; sebagai sesuatu yang memuliakan dan yang membuat manusia
beradab. Sebenarnya lembaga keagamaan adalah menyangkut hal yang mengandung
arti penting tertentu, menyangkut masalah aspek kehidupan manusia, yang dalam
transendensinya, mencakup sesuatu yang mempunyai arti penting dan menonjol bagi
manusia. Bahkan sejarah menunjukkan bahwa lembaga-lembaga keagamaan merupakan
bentuk asosiasi manusia yang paling mungkin untuk terus bertahan.
Dalam
kaitannya dengan lembaga sosial yang ada dalam masyarakat, hendaknya cara
berpikir sosiologis dipusatkan pada lembaga-lembaga kecil dan besar, serta
gabungan lembaga-lembaga yang merupakan sub-sub sistem dalam masyarakat. Para
sosiolog cenderung untuk memperhatikan paling sedikit 4 kelompok
lembaga-lembaga yang penting (yang dapat dijabarkan ke dalam kategori-kategori yang
lebih kecil dan khusus), yakni:
1. Lembaga-lembaga
politik yang ruang lingkupnya adalah penerapan kekuasaan dan monopoli pada
penggunaan kekuasaan secara sah.
2. Lembaga-lembaga
ekonomi yang mencakup produksi dan distribusi barang dan jasa.
3. Lembaga-lembaga integrative-ekspresif,
yang menurut Inkeles adalah (Alex inkeles 1965: 68).
“… Those
dealing with the arts, drama, and recreation..This group also includes
institutions which deal with ideas, and with the transmission of received
values. We may, therefore, include scientific, religius, philosophical, and
educational organizations within this category”.
4. Lembaga-lembaga
kekerabatan mencakup kaedah-kaedah yang mengatur hubungan seksual serta
pengarahan terhadap golongan muda.
Walaupun
tampaknya, suatu lembaga memusatkan perhatian terhadap suatu aspek
kemasyarakatan tertentu, namun di dalam kenyataan lembaga-lembaga tersebut
saling berkaitan secara fungsional. Setiap lembaga berpartisipasi dan
memberikan kontribusi dengan cara-cara tertentu pada kehidupan masyarakat
setempat (“community”).
Perbincangan
tentang agama dan masyarakat memang tidak akan pernah selesai, seiring dengan
perkembangan masyarakat itu sendiri. Baik secara teologis maupun sosiologis,
agama dapat dipandang sebagai instrument untuk memahami dunia. Dalam konteks
itu, hampir-hampir tak ada kesulitan bagi agama apapun untuk menerima premis
tersebut. Secara teologis hal itu dikarenakan oleh watak omnipresent agama.
Yaitu, agama, baik melalui simbol-simbol atau nilai-nilai yang dikandungnya
“hadir dimana-mana”, ikut mempengaruhi, bahkan membentuk struktur sosial,
budaya , ekonomi dan politik serta kebijakan publik. Dengan ciri ini, dipahami
bahwa dimanapun suatu agama berada, ia diharapkan dapat memberi panduan nilai
bagi seluruh diskursus kegiatan manusia, baik yang bersifat sosial-budaya,
ekonomi maupun politik. Sementara itu, secara sosiologis tak jarang agama
menjadi faktor penentu dalam proses transformasi dan modernisasi.
Kehadiran
agama-agama didunia memang mampu memberikan warna-warni terhadap kehidupan
dunia. Karena agama secara umum kehadirannya disertai “dua muka” (janus
face). Pada satu sisi , secara inherent agama memiliki idensitas yang
bersifat “exclusive”, “particularist”, dan“primordial”.
Akan tetapi, pada waktu yang sama, agama juga kaya akan identitas yang
bersifat “inclusive”, “universalist”, dan“transcending”. 7 Atau dengan kata lain
mempunyai energi konstruktif dan destruktif terhadap umat manusia. Yang dalam
perjalanan sejarahnya mampu memberikan kedamaian hidup umat manusia, tetapi
juga menimbulkan malapetaka bagi dunia akibat perang antar agama dan politisasi
suatu agama tertentu oleh para penguasa yang dzolim. Sejarah mencatat “perang
salib” atau “perang sabil” antara islam dengan Kristen selama empat abad
lamanya dengan kemenangan silih berganti.
Pemeluk
agama-agama di dunia meyakini bahwa fungsi utama agama yang dipeluknya itu
adalah memandu kehidupan manusia agar memperoleh keselamatan di dunia dan
keselamatan sesudah hari kematian. Mereka menyatakan bahwa agamanya menyatakan
kasih sayang pada sesama manusia dan sesama makhluk Tuhan, alam
tumbuh-tumbuhan, hewan, hingga benda mati. Sehingga dalam usahanya untuk
membentuk kehidupan yang damai, banyak dari para ahli dan agamawan dari
tiap-tiap agama melakukan dialog-dialog untuk memecahkan konflik keagamaan.
Pada level dunia mulai muncul pandangan tentang universal religionyaitu
suatu agama yang tidak membedakan dari mana asal teologis dan unsur transcendental suatu
agama tetapi memandang tinggi nilai-nilai kemanusiaan, kedamaian dan
keberlangsungan hidup berdampingan.
Di
Indonesia sendiri konflik agama baik yang bersifat murni maupun yang ditumpangi
oleh aspek budaya, politik, ideologi dan kepentingan golongan banyak mewarnai
perjalanan sejarah Indonesia. Bahkan diera reformasi dan paska reformasi, agama
telah menunjukkan peran dan fungsinya yang nyata. Baik kekuatan yang konstuktif
maupun kekuatan yang destruktif. Sesudah gerakan reformasi, suatu keyakinan
ketuhanan atau keagamaan banyak dituduh telah menyebabkan konflik kekerasan
dinegeri ini. Selama empat tahun belakangan, ribuan anak bangsa mati tanpa tahu
untuk apa. Ribuan manusia terusir dari kampong halamannya, tempat mereka
dilahirkan. Ribuan anak-anak lainnya pun menjadi piatu, kehilangan sanak
keluarganya dan orang-orang yang dikasihi.
Pertanyaan
tentang mengapa bangsa yang selama ini dikenal santun dan relegius, berubah
beringas dan mudah melakukan tindak kekerasan pada sesama, jawabanya tidak
pernah jelas dan beragam. Apakah hal ini karena faktor keagamaan, etnisitas,
ekonomi dan politik atau faktor lain, masih menjadi bahan perdebatan panjang.
Fungsi agama pun tetap diperdebatkan oleh para ilmuan, apakah agama sebagai
pemicu konflik atau agama sebagai faktor integrasi sosial.
Fungsi Agama
Dari segi “Pragmatisme”
seseorang itu menganut
sesuatu agama adalah disebabkan oleh fungsinya.
Bagi kebanyakan orang, agama itu berfungsi untuk menjaga kebahagiaan
hidup.
Bagi kebanyakan orang, agama itu berfungsi untuk menjaga kebahagiaan
hidup.
Tetapi dari “Sains sosial”
fungsi agama mempunyai dimensi yang lain seperti apa yang diuraikan di bawah:
Memberi pandangan dunia
kepada satu-satu budaya manusia.
Agama dikatakan memberi pandangan dunia kepada manusia karena ia sentiasanya
memberi penerangan kepada dunia(secara keseluruhan), dan juga kedudukan
“Manusia” di dalam dunia. Penerangan dalam masalah ini sebenarnya sulit dicapai melalui indra manusia, melainkan sedikit penerangan daripada “Falsafah”.
Contohnya, agama Islam
menerangkan kepada umatnya bahwa dunia adalah ciptaan Tuhan dan setiap manusia
harus menaati Tuhan.
Menjawab pelbagai pertanyaan yang tidak mampu dijawab oleh manusia.
Sebagian pertanyaan yang sentiasa ditanya oleh“Manusia” merupakan pertanyaan yang tidak terjawab oleh akal manusia sendiri.
Menjawab pelbagai pertanyaan yang tidak mampu dijawab oleh manusia.
Sebagian pertanyaan yang sentiasa ditanya oleh“Manusia” merupakan pertanyaan yang tidak terjawab oleh akal manusia sendiri.
Contohnya pertanyaan
kehidupan setelah “Mati” ,nasib, dan soal “Hidup” dan sebagainya.
Bagi kebanyakan manusia, pertanyaan-pertanyaan ini sangat menarik dan perlu untuk menjawabnya. Maka, agama itulah
fungsinya untuk menjawab soalan-soalan ini. Memberi rasa
kekitaan kepada sesuatu kelompok manusia.
Agama merupakan satu faktor dalam pembentukkan kelompok “Manusia”. Ini adalah karena sistem agama menimbulkan keseragaman bukan saja Kepercayaan yang sama, melainkan tingkah laku, pandangan dunia dan nilai yang sama.
Memainkan fungsi peranan sosial.
Kebanyakan agama di dunia ini menyarankan kepada kebaikan. Dalam ajaran agama sendiri sebenarnya telah menggariskan kode Etika yang wajib dilakukan oleh penganutnya. Maka ini dikatakan agama memainkan fungsi peranan sosial.
Agama merupakan satu faktor dalam pembentukkan kelompok “Manusia”. Ini adalah karena sistem agama menimbulkan keseragaman bukan saja Kepercayaan yang sama, melainkan tingkah laku, pandangan dunia dan nilai yang sama.
Memainkan fungsi peranan sosial.
Kebanyakan agama di dunia ini menyarankan kepada kebaikan. Dalam ajaran agama sendiri sebenarnya telah menggariskan kode Etika yang wajib dilakukan oleh penganutnya. Maka ini dikatakan agama memainkan fungsi peranan sosial.
SEBAB TIMBULNYA KONFLIK MASYARAKAT BERAGAMA
Sepanjang sejarah agama dapat memberi sumbangsih positif bagi
masyarakat dengan
memupuk persaudaraan dan semangat kerjasama antar anggota masyarakat.
Namun sisi yang lain, agama juga dapat sebagai pemicu konflik antar
masyarakat beragama. Ini adalah sisi negatif dari agama dalam
mempengaruhi masyarakat Dan hal ini telah terjadi di beberapa tempat di
Indonesia. Pada bagian ini akan diuraikan sebab terjadinya konflik antar
masyarakat beragama khususnya yang terjadi di Indonesia dalam
perspektif sosiologi agama. Hendropuspito mengemukakan bahwa paling tidak ada empat hal pokok sebagai sumber konflik sosial yang bersumber dari agama.
memupuk persaudaraan dan semangat kerjasama antar anggota masyarakat.
Namun sisi yang lain, agama juga dapat sebagai pemicu konflik antar
masyarakat beragama. Ini adalah sisi negatif dari agama dalam
mempengaruhi masyarakat Dan hal ini telah terjadi di beberapa tempat di
Indonesia. Pada bagian ini akan diuraikan sebab terjadinya konflik antar
masyarakat beragama khususnya yang terjadi di Indonesia dalam
perspektif sosiologi agama. Hendropuspito mengemukakan bahwa paling tidak ada empat hal pokok sebagai sumber konflik sosial yang bersumber dari agama.
Dengan menggunakan
kerangka teori Hendropuspito, penulis ingin
menyoroti konflik antar kelompok masyarakat Islam - Kristen di
Indonesia, dibagi dalam empat hal, yaitu
menyoroti konflik antar kelompok masyarakat Islam - Kristen di
Indonesia, dibagi dalam empat hal, yaitu
1. Perbedaan Doktrin dan Sikap Mental
Semua pihak umat beragama yang sedang
terlibat dalam bentrokan
masing-masing menyadari bahwa justru perbedaan doktrin itulah yang
menjadi penyebab dari benturan itu. Entah sadar atau tidak, setiap pihak mempunyai gambaran tentang ajaran agamanya, membandingkan dengan ajaran agama lawan, memberikan penilaian atas agama sendiri dan agama lawannya. Dalam skala penilaian
yang dibuat (subyektif) nilai tertinggi selalu diberikan kepada agamanya sendiri dan agama sendiri selalu dijadikan kelompok patokan,
sedangkan lawan dinilai menurut patokan itu. Agama Islam dan Kristen di Indonesia, merupakan agama samawi (revealed religion), yang meyakini terbentuk dari wahyu Ilahi Karena itu memiliki rasa superior, sebagai agama yang berasal dari Tuhan. Di beberapa tempat terjadinya kerusuhan kelompok masyarakat Islam dari aliran sunni atau santri. Bagi golongan sunni, memandang Islam dalam keterkaitan dengan keanggotaan dalam umat, dengan demikian Islam adalah juga hukum dan politik di samping agama. Islam sebagai hubungan pribadi lebih dalam artian pemberlakuan hukum dan oleh sebab itu
hubungan pribadi itu tidak boleh mengurangi solidaritas umat, sebagai
masyarakat terbaik di hadapan Allah. Dan mereka masih berpikir tentang
pembentukan negara dan masyarakat Islam di Indonesia. Kelompok ini
begitu agresif, kurang toleran dan terkadang fanatik dan malah menganut
garis keras. Karena itu, faktor perbedaan doktrin dan sikap mental dan kelompok
masyarakat Islam dan Kristen punya andil sebagai pemicu konflik.
masing-masing menyadari bahwa justru perbedaan doktrin itulah yang
menjadi penyebab dari benturan itu. Entah sadar atau tidak, setiap pihak mempunyai gambaran tentang ajaran agamanya, membandingkan dengan ajaran agama lawan, memberikan penilaian atas agama sendiri dan agama lawannya. Dalam skala penilaian
yang dibuat (subyektif) nilai tertinggi selalu diberikan kepada agamanya sendiri dan agama sendiri selalu dijadikan kelompok patokan,
sedangkan lawan dinilai menurut patokan itu. Agama Islam dan Kristen di Indonesia, merupakan agama samawi (revealed religion), yang meyakini terbentuk dari wahyu Ilahi Karena itu memiliki rasa superior, sebagai agama yang berasal dari Tuhan. Di beberapa tempat terjadinya kerusuhan kelompok masyarakat Islam dari aliran sunni atau santri. Bagi golongan sunni, memandang Islam dalam keterkaitan dengan keanggotaan dalam umat, dengan demikian Islam adalah juga hukum dan politik di samping agama. Islam sebagai hubungan pribadi lebih dalam artian pemberlakuan hukum dan oleh sebab itu
hubungan pribadi itu tidak boleh mengurangi solidaritas umat, sebagai
masyarakat terbaik di hadapan Allah. Dan mereka masih berpikir tentang
pembentukan negara dan masyarakat Islam di Indonesia. Kelompok ini
begitu agresif, kurang toleran dan terkadang fanatik dan malah menganut
garis keras. Karena itu, faktor perbedaan doktrin dan sikap mental dan kelompok
masyarakat Islam dan Kristen punya andil sebagai pemicu konflik.
2. Perbedaan Suku dan Ras Pemeluk Agama
Tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan
ras dan agama memperlebar
jurang permusuhan antar bangsa. Perbedaan suku dan ras ditambah dengan
perbedaan agama menjadi penyebab lebih kuat untuk menimbulkan
perpecahan antar kelompok dalam masyarakat. Contoh di wilayah Indonesia, antara Suku Aceh dan Suku Batak di
Sumatera Utara. Suku Aceh yang beragama Islam dan Suku Batak yang
beragama Kristen; kedua suku itu hampir selalu hidup dalam ketegangan,
bahkan dalam konflik fisik (sering terjadi), yang merugikan ketentraman
dan keamanan. Di beberapa tempat yang terjadi kerusuhan seperti: Situbondo,
Tasikmalaya, dan Rengasdengklok, massa yang mengamuk adalah penduduk
setempat dari Suku Madura di Jawa Timur, dan Suku Sunda di Jawa Barat.
Sedangkan yang menjadi korban keganasan massa adalah kelompok pendatang
yang umumnya dari Suku non Jawa dan dari Suku Tionghoa. Jadi, nampaknya
perbedaan suku dan ras disertai perbedaan agama ikut memicu terjadinya
konflik.
jurang permusuhan antar bangsa. Perbedaan suku dan ras ditambah dengan
perbedaan agama menjadi penyebab lebih kuat untuk menimbulkan
perpecahan antar kelompok dalam masyarakat. Contoh di wilayah Indonesia, antara Suku Aceh dan Suku Batak di
Sumatera Utara. Suku Aceh yang beragama Islam dan Suku Batak yang
beragama Kristen; kedua suku itu hampir selalu hidup dalam ketegangan,
bahkan dalam konflik fisik (sering terjadi), yang merugikan ketentraman
dan keamanan. Di beberapa tempat yang terjadi kerusuhan seperti: Situbondo,
Tasikmalaya, dan Rengasdengklok, massa yang mengamuk adalah penduduk
setempat dari Suku Madura di Jawa Timur, dan Suku Sunda di Jawa Barat.
Sedangkan yang menjadi korban keganasan massa adalah kelompok pendatang
yang umumnya dari Suku non Jawa dan dari Suku Tionghoa. Jadi, nampaknya
perbedaan suku dan ras disertai perbedaan agama ikut memicu terjadinya
konflik.
3. Perbedaan Tingkat Kebudayaan
Agama sebagai bagian dari budaya
bangsa manusia. Kenyataan
membuktikan perbedaan budaya berbagai bangsa di dunia tidak sama.
Secara sederhana dapat dibedakan dua kategori budaya dalam masyarakat,
yakni budaya tradisional dan budaya modern. Tempat-tempat terjadinya konflik antar kelompok masyarakat agama
Islam - Kristen beberapa waktu yang lalu, nampak perbedaan antara dua
kelompok yang konflik itu. Kelompok masyarakat setempat memiliki budaya
yang sederhana atau tradisional: sedangkan kaum pendatang memiliki
budaya yang lebih maju atau modern. Karena itu bentuk rumah gereja
lebih berwajah budaya Barat yang mewah. Perbedaan budaya dalam kelompok masyarakat yang berbeda agama di
suatu tempat atau daerah ternyata sebagai faktor pendorong yang ikut
mempengaruhi terciptanya konflik antar kelompok agama di Indonesia.
membuktikan perbedaan budaya berbagai bangsa di dunia tidak sama.
Secara sederhana dapat dibedakan dua kategori budaya dalam masyarakat,
yakni budaya tradisional dan budaya modern. Tempat-tempat terjadinya konflik antar kelompok masyarakat agama
Islam - Kristen beberapa waktu yang lalu, nampak perbedaan antara dua
kelompok yang konflik itu. Kelompok masyarakat setempat memiliki budaya
yang sederhana atau tradisional: sedangkan kaum pendatang memiliki
budaya yang lebih maju atau modern. Karena itu bentuk rumah gereja
lebih berwajah budaya Barat yang mewah. Perbedaan budaya dalam kelompok masyarakat yang berbeda agama di
suatu tempat atau daerah ternyata sebagai faktor pendorong yang ikut
mempengaruhi terciptanya konflik antar kelompok agama di Indonesia.
4. Masalah Mayoritas da Minoritas Golongan Agama
Fenomena
konflik sosial mempunyai aneka penyebab. Tetapi dalammasyarakat agama pluralitas penyebab terdekat adalah masalah mayoritas
dan minoritas golongan agama. Di berbagai tempat terjadinya konflik, massa yang mengamuk adalah beragama Islam sebagai kelompok mayoritas; sedangkan kelompok yang ditekan dan mengalami kerugian fisik dan mental adalah orang Kristen
yang minoritas di Indonesia. Sehingga nampak kelompok Islam yang
mayoritas merasa berkuasa atas daerah yang didiami lebih dari kelompok
minoritas yakni orang Kristen. Karena itu, di beberapa tempat orang
Kristen sebagai kelompok minoritas sering mengalami kerugian fisik,
seperti: pengrusakan dan pembakaran gedung-gedung ibadat
Kelembagaan
Agama
Agama telah dicirikan sebagai pemersatu aspirasi manusia yang paling
sebagai sejumlah besar moralitas, sumber tatanan masyarakat dan
perdamaian batin individu; sebagai sesuatu yang memuliakan dan yang
membuat manusia beradab. Sebenarnya lembaga keagamaan adalah menyangkut
hal yang mengandung arti penting tertentu, menyangkut masalah aspek
kehidupan manusia, yang dalam transendensinya, mencakup sesuatu yang
mempunyai arti penting dan menonjol bagi manusia. Bahkan sejarah
menunjukkan bahwa lembaga-lembaga keagamaan merupakan bentuk asosiasi
manusia yang paling mungkin untuk terus bertahan
Dalam kaitannya dengan lembaga sosial yang ada dalam
masyarakat, hendaknya
cara berpikir sosiologis dipusatkan pada lembaga-lembaga kecil dan
besar, serta gabungan lembaga-lembaga yang merupakan sub-sub sistem
dalam masyarakat. Para sosiolog cenderung untuk memperhatikan paling
sedikit 4 kelompok lembaga-lembaga yang penting (yang dapat dijabarkan
ke dalam kategori-kategori yang lebih kecil dan khusus), yakni Lembaga-lembaga politik yang ruang lingkupnya adalah penerapan kekuasaan dan monopoli pada penggunaan kekuasaan secara sah.
cara berpikir sosiologis dipusatkan pada lembaga-lembaga kecil dan
besar, serta gabungan lembaga-lembaga yang merupakan sub-sub sistem
dalam masyarakat. Para sosiolog cenderung untuk memperhatikan paling
sedikit 4 kelompok lembaga-lembaga yang penting (yang dapat dijabarkan
ke dalam kategori-kategori yang lebih kecil dan khusus), yakni Lembaga-lembaga politik yang ruang lingkupnya adalah penerapan kekuasaan dan monopoli pada penggunaan kekuasaan secara sah.
Lembaga-lembaga ekonomi yang mencakup
produksi dan distribusi barang dan jasa.
Lembaga-lembaga yang menurut Inkeles adalah (Alex inkeles 1965: 68) Walaupun
tampaknya, suatu lembaga memusatkan perhatian terhadap suatu aspek
kemasyarakatan tertentu, namun di dalam kenyataan lembaga-lembaga
tersebut saling berkaitan secara fungsional. Setiap lembaga
berpartisipasi dan memberikan kontribusi dengan cara-cara tertentu pada
kehidupan masyarakat setempat.
Lembaga-lembaga yang menurut Inkeles adalah (Alex inkeles 1965: 68) Walaupun
tampaknya, suatu lembaga memusatkan perhatian terhadap suatu aspek
kemasyarakatan tertentu, namun di dalam kenyataan lembaga-lembaga
tersebut saling berkaitan secara fungsional. Setiap lembaga
berpartisipasi dan memberikan kontribusi dengan cara-cara tertentu pada
kehidupan masyarakat setempat.
Perbincangan tentang agama dan masyarakat memang tidak akan pernah
selesai, seiring
dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Baik secara teologis maupun
sosiologis, agama dapat dipandang sebagai instrument untuk memahami
dunia. Dalam konteks itu, hampir-hampir tak ada kesulitan bagi agama
apapun untuk menerima premis tersebut. Secara teologis hal itu
dikarenakan oleh watak agama. Yaitu, agama, baik
melalui simbol-simbol atau nilai-nilai yang dikandungnya “hadir
dimana-mana”, ikut mempengaruhi, bahkan membentuk struktur sosial,
budaya , ekonomi dan politik serta kebijakan publik. Dengan ciri ini,
dipahami bahwa dimanapun suatu agama berada, ia diharapkan dapat
memberi panduan nilai bagi seluruh diskursus kegiatan manusia, baik
yang bersifat sosial-budaya, ekonomi maupun politik. Sementara itu,
secara sosiologis tak jarang agama menjadi faktor penentu dalam proses
transformasi dan modernisasi.
dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Baik secara teologis maupun
sosiologis, agama dapat dipandang sebagai instrument untuk memahami
dunia. Dalam konteks itu, hampir-hampir tak ada kesulitan bagi agama
apapun untuk menerima premis tersebut. Secara teologis hal itu
dikarenakan oleh watak agama. Yaitu, agama, baik
melalui simbol-simbol atau nilai-nilai yang dikandungnya “hadir
dimana-mana”, ikut mempengaruhi, bahkan membentuk struktur sosial,
budaya , ekonomi dan politik serta kebijakan publik. Dengan ciri ini,
dipahami bahwa dimanapun suatu agama berada, ia diharapkan dapat
memberi panduan nilai bagi seluruh diskursus kegiatan manusia, baik
yang bersifat sosial-budaya, ekonomi maupun politik. Sementara itu,
secara sosiologis tak jarang agama menjadi faktor penentu dalam proses
transformasi dan modernisasi.
Kehadiran agama-agama didunia memang mampu memberikan warna-warni
terhadap
kehidupan dunia. Karena agama secara umum kehadirannya disertai dua muka. Pada satu sisi , secara inherent agama memiliki idensitas yang bersifat “exclusive”, “particularist” “primordial”. Akan tetapi, pada waktu yang sama, agama juga kaya akan identitas yang bersifat “inclusive”, “universalist”.
kehidupan dunia. Karena agama secara umum kehadirannya disertai dua muka. Pada satu sisi , secara inherent agama memiliki idensitas yang bersifat “exclusive”, “particularist” “primordial”. Akan tetapi, pada waktu yang sama, agama juga kaya akan identitas yang bersifat “inclusive”, “universalist”.
Atau dengan kata lain mempunyai energi
konstruktif dan destruktif
terhadap umat manusia. Yang dalam perjalanan sejarahnya mampu
memberikan kedamaian hidup umat manusia, tetapi juga menimbulkan
malapetaka bagi dunia akibat perang antar agama dan politisasi suatu
agama tertentu oleh para penguasa yang dzolim. Sejarah mencatat “perang
salib” atau “perang sabil” antara islam dengan Kristen selama empat
abad lamanya dengan kemenangan silih berganti.
terhadap umat manusia. Yang dalam perjalanan sejarahnya mampu
memberikan kedamaian hidup umat manusia, tetapi juga menimbulkan
malapetaka bagi dunia akibat perang antar agama dan politisasi suatu
agama tertentu oleh para penguasa yang dzolim. Sejarah mencatat “perang
salib” atau “perang sabil” antara islam dengan Kristen selama empat
abad lamanya dengan kemenangan silih berganti.
Pemeluk agama-agama di dunia meyakini bahwa fungsi utama agama
yang dipeluknya
itu adalah memandu kehidupan manusia agar memperoleh keselamatan di
dunia dan keselamatan sesudah hari kematian. Mereka menyatakan bahwa
agamanya menyatakan kasih sayang pada sesama manusia dan sesama makhluk
Tuhan, alam tumbuh-tumbuhan, hewan, hingga benda mati.
itu adalah memandu kehidupan manusia agar memperoleh keselamatan di
dunia dan keselamatan sesudah hari kematian. Mereka menyatakan bahwa
agamanya menyatakan kasih sayang pada sesama manusia dan sesama makhluk
Tuhan, alam tumbuh-tumbuhan, hewan, hingga benda mati.
Sehingga dalam usahanya untuk
membentuk kehidupan yang damai, banyak
dari para ahli dan agamawan dari tiap-tiap agama melakukan
dialog-dialog untuk memecahkan konflik keagamaan. Pada level dunia
mulai muncul pandangan tentang yaitu suatu agama yang tidak membedakan dari mana asal teologis dan unsur suatu agama tetapi memandang tinggi nilai-nilai kemanusiaan, kedamaian dan keberlangsungan hidup berdampingan.
dari para ahli dan agamawan dari tiap-tiap agama melakukan
dialog-dialog untuk memecahkan konflik keagamaan. Pada level dunia
mulai muncul pandangan tentang yaitu suatu agama yang tidak membedakan dari mana asal teologis dan unsur suatu agama tetapi memandang tinggi nilai-nilai kemanusiaan, kedamaian dan keberlangsungan hidup berdampingan.
Di Indonesia sendiri konflik agama baik yang bersifat murni
maupun yang
ditumpangi oleh aspek budaya, politik, ideologi dan kepentingan
golongan banyak mewarnai perjalanan sejarah Indonesia. Bahkan diera
reformasi dan paska reformasi, agama telah menunjukkan peran dan
fungsinya yang nyata. Baik kekuatan yang konstuktif maupun kekuatan
yang destruktif. Sesudah gerakan reformasi, suatu keyakinan ketuhanan
atau keagamaan banyak dituduh telah menyebabkan konflik kekerasan
dinegeri ini. Selama empat tahun belakangan, ribuan anak bangsa mati
tanpa tahu untuk apa. Ribuan manusia terusir dari kampong halamannya,
tempat mereka dilahirkan. Ribuan anak-anak lainnya pun menjadi piatu,
kehilangan sanak keluarganya dan orang-orang yang dikasihi.
ditumpangi oleh aspek budaya, politik, ideologi dan kepentingan
golongan banyak mewarnai perjalanan sejarah Indonesia. Bahkan diera
reformasi dan paska reformasi, agama telah menunjukkan peran dan
fungsinya yang nyata. Baik kekuatan yang konstuktif maupun kekuatan
yang destruktif. Sesudah gerakan reformasi, suatu keyakinan ketuhanan
atau keagamaan banyak dituduh telah menyebabkan konflik kekerasan
dinegeri ini. Selama empat tahun belakangan, ribuan anak bangsa mati
tanpa tahu untuk apa. Ribuan manusia terusir dari kampong halamannya,
tempat mereka dilahirkan. Ribuan anak-anak lainnya pun menjadi piatu,
kehilangan sanak keluarganya dan orang-orang yang dikasihi.
Pertanyaan tentang mengapa bangsa yang selama ini dikenal santun
dan relegius,
berubah beringas dan mudah melakukan tindak kekerasan pada sesama,
jawabanya tidak pernah jelas dan beragam. Apakah hal ini karena faktor
keagamaan, etnisitas, ekonomi dan politik atau faktor lain, masih
menjadi bahan perdebatan panjang. Fungsi agama pun tetap diperdebatkan
oleh para ilmuan, apakah agama sebagai pemicu konflik atau agama
sebagai faktor integrasi sosial.
berubah beringas dan mudah melakukan tindak kekerasan pada sesama,
jawabanya tidak pernah jelas dan beragam. Apakah hal ini karena faktor
keagamaan, etnisitas, ekonomi dan politik atau faktor lain, masih
menjadi bahan perdebatan panjang. Fungsi agama pun tetap diperdebatkan
oleh para ilmuan, apakah agama sebagai pemicu konflik atau agama
sebagai faktor integrasi sosial.
Sumber
: islamkuno.com